Rabu, 14 Maret 2012

AKHIR HIDUP MALIN KUNDANG (Mini Drama Religi Anak-anak)

Adegan I
[Suasana rumah]

[Suatu hari, di sebuah desa terpencil di pesisir pantai wilayah Sumatera Barat. Ibu Malin Kundang terlihat se-dang memotong kayu bakar untuk dijual ke pasar. Sejak ditinggal pergi suaminya, ibu Malin Kundang memang harus bekerja keras membanting tulang demi meng-hidupi anak semata wayangnya, si Malin Kundang.]

Ibu : “Ya Allah, sungguh berat hidup yang harus aku jalani. Dari pagi sampai malam, aku harus bekerja keras untuk bisa mendapatkan sesuap nasi agar anakku, Malin Kundang, tidak kelaparan”..

Ibu : “Kadang sakit pun tak kurasakan, agar bisa men-dapatkan kayu untuk kujual ke pasar. Ya, Allah, sungguh aku tak pernah peduli cemooh dan hina-an orang pada diriku, asal anakku bisa terus hidup dan bahagia. Ya, Allah, berikanlah ketabahan dan kekuatan pada diri hamba untuk menjalani semua cobaan hidup ini…”

[Di tengah kegundahan sang ibu, tiba-tiba, si Malin Kun-dang datang dengan menangis].

Malin Kundang : “Aduh, tanganku sakit” (sambil menangis)

Ibu : “Kenapa engkau menangis, nak?” (Sang Ibu mendekati Malin dan membelainya)
Malin Kundang: “Aku terjatuh, bu… Aku baru saja me-ngejar seekor ayam dan memukulnya dengan sa-pu. Namun, saat berlari, aku tersandung batu dan terjatuh. Lenganku sakit sekali..”

Ibu : “Sudahlah Nak, nanti ibu obati, ya” (Sang ibu pun mengambil kain, air dan dedaunan untuk mengobati luka Malin)

Ibu : ”Sini ibu cuci dulu lukamu.. baru nanti ibu obati dengan daun ini..” (sang ibu mulai mengobati luka Malin)

Ibu : “bismillahirrahmanirrahim…” (Sang ibu mengo-bati lengan Malin)

Malin Kundang : “Aduh sakit sekali, bu..”

Ibu : “Sudahlah, nanti juga sembuh…”

Malin Kundang: “Malin lapar, bu…”

Ibu : “Sebentar ya…” (sang ibu beranjak mengambil sepiring nasi putih dengan sepotong ikan asin)

Ibu : ”Nih, makanlah, Malin..”

Malin Kundang: “Tapi ini khan nasi untuk sarapan ibu tadi pagi? Ibu tidak makan?..”

Ibu : “Sudahlah makan saja, jangan pikirkan ibu..”

Malin Kundang: “Allahumma baarik lanaa fiimaa razaq-tana wa qinaa ‘adzaa-bannaari Bismillahirrah-maaniraahiimi”

[Malin pun kemudian memakan dengan lahap nasi terse-but karena lapar]

[sesaat setelah makan]

Malin Kundang: “Bu, aku bosan hidup miskin… harus se-ring menahan lapar, karena tak punya makan-an,.. pakaianku pun tak sebagus teman-teman, hingga sering diejek…”

[sang ibu hanya terdiam]

Malin Kundang: “Jika hujan tiba, kita pasti kedinginan, karena rumah kita bocor.. Sedangkan teman-teman Malin, tinggal di rumah yang megah de-ngan barang-barang dan mainan mewah…”

[sang ibu masih terdiam]

Malin Kundang : “Sampai kapan kita harus begini, bu?..”

Ibu :”Sudahlah Malin. Meskipun kita miskin, kita tetap harus bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah pada kita. Sekalipun tidak seenak orang lain, tapi kita patut bersyukur, ka-rena kita masih bisa makan.. Sekalipun tidak semewah orang lain, tapi kita tetap patut bersyukur, karena, kita masih punya rumah…”

Malin Kundang: “Tidak ibu.. Aku sudah bosan dengan se-mua ini.. Aku ingin kaya seperti mereka.. Banyak uang sehingga bisa membeli apa saja yang diinginkan.. Aku sudah tak kuat lagi dihina teman-teman…”

Ibu :“Kaya miskin itu ada pada hati, Malin. Bukan pada banyak sedikitnya uang yang kita punya. Uang banyak tidak akan kita bawa mati, Malin. Uang banyak tidak akan bisa membawa kita ke syurga, jika kita tidak bisa menukarnya menjadi pahala atau tabungan akherat, Malin. Yaitu dengan memperbanyak amal dan bershadaqah..”

Malin Kundang: “Tidak bu….Aku ingin merantau ke kota agar bisa menjadi kaya dan membahagiakan ibu..”

Ibu : “Tidak Malin, engkau tidak boleh mening-galkan ibu seorang diri di sini. Ibu tidak ingin kamu pergi merantau seperti ayahmu, karena hingga kini ia tak pernah kembali.. Ibu tidak ingin lagi kehilangan orang yang ibu sayangi..”

Ibu : “Tetaplah tinggal di sini, Malin.. Ibu berjanji, akan bekerja lebih keras, biar hidup kita tidak sengsara lagi”..

Malin Kundang: “Tidak ibu.. Tekad Malin untuk merantau sudah bulat.. aku ingin kaya dan membahagiakan ibu”..

Ibu :”Malin, dengarkan ibu!”

Malin Kundang: ”Tidak bu, aku ingin kaya dan membahagiakan ibu”… (sambil beranjak ke kamar untuk mengemasi pakaiannya)

[sejenak kemudian]

Malin Kundang : “Ibu, Malin pamit dulu.. doakan Malin a-gar bisa kaya, banyak uang dan membahagiakan ibu..”

Ibu : “Tidak Malin..”

Malin Kundang: “Tidak ibu… Aku harus merantau….” (Malin pun pergi berlalu, setelah mencium tangan ibunya)

Malin Kundang: “Assalamualaikum…”

Ibu : “Waalaikumsalam…” (lirih)

[sang Ibu hanya bisa terdiam, melihat anaknya pergi ke-luar rumah]

Ibu : “Ya Allah, hati hamba memang pedih, tapi hamba harus merelakan kepergian anak semata wayang hamba, si Malin Kundang…. Karena, tanpa ridho orangtua, apa yang bisa dilakukan anakku, Malin.. Lindungilah ia, Ya Allah.. berikanlah selalu keselamatan dan kemudahan untuk mencapai apa yang dicita-citakan..


Adegan II

[Suasana Kapal]

[berkat doa sang Ibu, Malin Kundang pun diberi jalan ke-mudahan oleh Allah, sehingga, bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah kapal milik seorang saudagar kaya)

[Saat Malin sedang membersihkan geladak kapal]

Teman I : “Hebat kau Malin, rajin sekali kau bekerja, nyaris seperti tak pernah istirahat rupanya”

Teman II : “Makanya tak heran, jika kau jadi kesayangan tuan dan semua teman di kapal ini..”
Malin Kundang : “Ah kalian bisa saja, aku hanya menja-lani tugas dan kewajibanku”

Teman I : “Eh Malin, sebenarnya apa yang kau cari, se-hingga, di usiamu yang masih sangat muda ini, kamu harus bekerja keras di kapal ini?”

Malin Kundang : “Aku sudah bosan hidup miskin di desa, aku ingin kaya dan membahagiakan ibuku”

Teman II : “Sungguh mulia cita-citamu, Malin”..

Teman I : “Kalau aku, bekerja di kapal ini, supaya bisa dapat uang untuk membeli minuman keras dan berfoya-foya…ha..ha..ha”

Malin Kundang : “Ah, aku tak mau minum minuman keras, Haram.. Dilarang agama dan bisa merusak badan. Bagaimana hidupmu bisa menjadi terarah, jika terus dikendalikan syetan?.. Mending kau kumpulkan uangmu untuk ditabung..”

Teman I : “Malin, malin... mana indah hidup ini, kalau kita tidak selalu bersenang-senang dan berfoya-foya…”

Malin Kundang: “Seharusnya, kitalah yang mengen-dalikan syetan dalam diri kita, teman. Bukan malah kita yang dikendalikan.. Aku yakin, syetan hanya akan mengajak kita ke tempat tinggalnya di neraka, karena, syetan tak punya jatah tempat tinggal di syurga…”

Teman II : “Sudahlah…. Jangan melantur ke mana-mana. Ayo kerja lagi, Oya, setelah mengepel geladak, kau bantu aku mengangkat drum ini, ya..”

Malin Kundang : “Baiklah….”

[Hari demi hari, dilalui Malin Kundang dengan terus be-kerja di atas kapal]

[Sampai suatu hari, kapalnya melintas di sebuah wilayah yang dikenal angker, karena dikuasai oleh para pembajak laut]

[Malin Kundang yang sedang duduk beristirahat pun ter-kejut, saat tiba-tiba mendengar teriakan keras sang kap-ten kapal. Apalagi ia melihat teman-temannya berlarian kebingungan]

Kapten Kapal : “Cepat, persiapkan senjata kalian, kapal kita mau diserang para bajak laut,.. cepat.. cepat”

[Malin melihat sebuah kapal bajak laut mendekati ka-palnya]

[Sesaat kemudian, satu persatu anggota bajak laut me-masuki kapal Malin, sehingga pertempuran pun tak terhindarkan].

[Karena kalah kekuatan, awak kapal Malin pun bisa dengan mudah dikalahkan]

[Seakan dikuasai syetan, para bajak laut itupun terus membantai seluruh awak kapal tanpa kasihan. Setelah semua awak kapal dibunuh, barang-barang pun dirampas dan dibawa kabur]

[Beruntung, Malin Kundang yang bertubuh kecil bisa bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup kayu, sehingga tidak diketahui oleh para pembajak]

[Hingga ia pun selamat dari kekejaman para bajak laut, meski akhirnya harus terkatung-katung di lautan, karena kapalnya dihancurkan oleh para pembajak]


Adegan III

[Berkat doa ibunya pula, Malin mendapat lindungan dari Allah SWT, sehingga meski berhari-hari terkatung-katung di laut, ia masih bisa bertahan hidup]

[Sampai akhirnya Malin pun terdampar di sebuah pantai dan ditolong warga]

Warga I : “Siapa kamu, Nak?”

Malin Kundang : “Saya Malin Kundang, Pak”

Warga II : “Darimana asalmu?”…

Malin Kundang: “Dari desa di seberang lautan pak…”

Warga III: “Mengapa engkau bisa sampai ke pulau ini, Nak?”

[Malin Kundang pun menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya, sehingga, warga yang menolongnya pun menjadi iba]

Warga I : “Ya sudahlah Nak, untuk sementara, kamu bo-leh tinggal bersama kami di daerah ini”

[Sejak itu, Malin Kundang pun tinggal di kampung terse-but dan bekerja apa saja untuk menyambung hidup]

Malin Kundang : “Alhamdulillah,.. Terimakasih atas rejeki yang kau berikan hari ini ya Allah. Meski sedikit, aku sudah tidak lagi harus merasa kelaparan. A-ku sudah bisa makan dengan hasil kerja kerasku sendiri..Terima kasih, Ya Allah”

[Saat sedang menghitung uang hasil kerja hari ini, seke-lompok penjahat pun mendatangi Malin Kundang dan merampas uangnya]

Penjahat I : “Hahaha.. serahkan uangmu, anak muda”

Malin Kundang : “Jangan tuan… uang ini untuk makan hamba nanti. tuan..”

Penjahat II: “Apa? Beraninya kau menantang kami…”

Penjahat I : “Apa kau tidak pernah dengar, siapa yang menguasai daerah ini? Hahaha..

Penjahat III : “Apa kau juga tidak pernah dengar, sese-orang yang berani menentang kami, akan kami pisahkan kepala dari badannya.. hahaha..”

Malin Kundang: “Hamba sudah sering mendengar keke-jaman kalian, tapi hamba sangat butuh uang itu untuk makan, tuan..Tolong kembalikan uang hamba, tuan”

Penjahat II : “Apa? Kembalikan?.. hahaha…”

Malin Kundang : “Kembalikan uang hamba, tuan”

Penjahat I: “Jadi, kau tidak takut pada kami?”

Malin Kundang: “Hamba hanya takut pada Allah SWT. tuan.. Penciptaku dan penguasa seluruh alam semesta. Di hadapan Allah, semua manusia sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Dan tidak ada satu orang pun yang berhak atas hidup orang lain”..

Penjahat I: “Kurang ajar, banyak omong kau!!”..

[Para penjahat pun beramai-ramai menghajar Malin Kundang hingga babak belur]


Adegan IV
[Meski sering diganggu para penjahat, namun Malin Kundang tetap tabah dan terus bekerja demi menyambung hidup]

[Namun, saat ini, Malin Kundang tak berani lagi mem-bawa uang dalam jumlah banyak, sehingga, setiap mendapat rejeki, ia hanya menggunakan seperlunya dan menyimpan atau menabung sisanya di tempat yang aman]

[Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Berkat keuletannya bekerja dan menabung, Malin Kundang pun akhirnya orang yang sangat kaya raya. Tentu saja, berkat doa ibunya juga..]

[Terlebih setelah dirinya juga mempersunting seorang gadis, anak dari seorang saudagar kaya. Kekayaannya pun makin bertambah banyak. Apapun yang ia inginkan, saat ini, bisa dengan mudah didapatnya]

[Ya, Malin Kundang kini sudah menjadi seorang saudagar baru yang sangat kaya raya. Sayangnya, kekayaan itu membuatnya lupa diri, sehingga, ia pun mulai melupakan perintah-perintah Allah, termasuk sholat lima waktu. Ia menjadi sangat sombong dan takabur]

[Di balik kesombongannya, berita tentang kekayaan saudagar baru bernama Malin Kundang pun terdengar di mana-mana, hingga sampai juga ke telinga ibunya di kampung halaman]

Ibu : “Terima kasih ya Allah, telah kau kabulkan doaku selama ini. Anakku, Malin Kundang, saat ini sudah menjadi saudagar yang kaya raya seperti di-cita-citakannya”

Ibu : “Aku sudah tua, Allah.. di sisa usiaku ini aku sangat ingin bertemu anakku, Malin Kundang. Tidak banyak yang kuinginkan, Ya Allah, selain agar jika menutup mata nanti, aku bisa lebih tenang beristirahat di alam-Mu.. Kabulkanlah, Ya Allah..”

[Sejak mendengar kabar anaknya sudah kaya raya, se-tiap hari ibu Malin pergi ke dermaga, untuk menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya]

[Namun, penantiannya seringkali harus sia-sia, karena, beberapa kali kapal mewah berlabuh, tak satupun kapal yang membawa anaknya, Malin Kundang]

[Sampai akhirnya, pada suatu hari..]

[Penantian sang Ibu membuahkan hasil juga.. sang ibu yang mendengar kapal Malin Kundang berlabuh pun se-gera pergi ke dermaga untuk melihat dan menemui anak-nya, Malin Kundang]

[Benarlah, sesampai di dermaga, ia melihat anaknya, Ma-lin Kundang sedang berdiri bersama istrinya di atas geladak kapal]

[Tanpa ragu, ia pun mendekati kapal tersebut untuk menemui Malin Kundang. Namun, upayanya ternyata tidak mudah, karena ia dihadang para awak buah kapal, yang merupakan anak buah Malin Kundang]

Anak Buah I : “Mau apa kau ke sini, ibu tua?”

Ibu : “Aku ingin menemui anakku, Malin Kundang, penjaga..”

Anak Buah II : “Apa ibu? Anakmu?.. Nggak salah dengar nih?”

Anak Buah I : “Ibu, tuan Malin Kundang itu saudagar kaya, mana mungkin ia punya ibu seperti kamu.. tua dan miskin..”

Anak Buah II : “Ya, seperti kata tuan Malin, tuan Malin itu tak pernah punya keluarga yang miskin, karena, ia dari keturunan bangsawan yang kekayaannya tak akan habis tujuh turunan…”

Anak Buah I ; “Iya, kalau tuan Malin miskin, mana mungkin istrinya, yang merupakan anak saudagar kaya, mau dan boleh dipersuntingnya…”

Ibu : “Tapi, nak.. Malin itu benar anak ibu.. Ibulah yang melahirkan dan merawat Malin Kundang sejak kecil, hingga ia kemudian pergi merantau, karena, bosan hidup miskin dan ingin membahagiakan ibu..”

Anak Buah II : “Ah ibu, bukan satu kali ini saja ada orang yang mengaku sebagai saudara atau keluarga tuan Malin, agar bisa ikut menikmati kekayaannya tanpa harus bekerja keras.. namun, nyatanya, semuanya bohong…”

Anak Buah I : “Ya, dan semuanya sudah dipenjarakan oleh Tuan Malin”.

Ibu : “Tapi, Nak… “

Anak Buah I : “Ah sudahlah, bu..” (sambil mendorong ibu Malin yang mencoba mendekat ke kapal)

[Ibu Malin Kundang yang sudah renta pun terjatuh, hingga mengundang keributan di dermaga, antara warga dan anak buah kapal]

[Mendengar keributan di dekat kapalnya, Malin Kundang bersama istrinya pun turun dari kapal untuk melihatnya]

Malin Kundang ; “Ada apa, anak buah?”

Anak Buah I : “Eh.. ini tuan. Ada seorang wanita tua yang mendekati dan ingin masuk kapal kita.. seperti biasa, tuan, ia mengaku keluarga tuan”

Malin Kundang: “Keluargaku?”

Anak Buah II : “Iya, tuan…”

Anak Buah I : “Bahkan, ia mengaku sebagai ibu tuan.. “

Malin Kundang : “Dan, kalian percaya?”..

Anak Buah I dan II : “Tentu saja tidak tuan..”

Anak Buah I : “Tampaknya, ia memang orang gila, tuan..”

Anak Buah II : “Tapi, ia dibela warga, tuan…”

Malin Kundang : “Berani-beraninya mereka.. mana ibu tua itu?”

Anak Buah II : “Itu, tuan..”

[Malin Kundang pun berjalan ke arah ibunya]

[Melihat Malin berjalan ke arahnya, sang ibu pun terlihat gembira..Ia berharap bisa segera bertemu dan memeluknya]

Malin Kundang: “O.. jadi ini, wanita tua yang mengaku sebagai ibuku?..”

Ibu : “Malin, apa kabarmu, nak?.. ibu sudah kangen dan ingin bertemu denganmu.. bertahun-tahun engkau pergi dan tak pernah memberi kabar ibu”

Malin Kundang: “Maaf wanita tua.. saya kira peng-lihatanmu sudah tidak bagus lagi. Kau lihatlah dengan baik-baik, siapa aku ini? Mana mungkin orang semiskin kamu bisa mempunyai anak yang sekaya aku.. jangankan memberi harta, memberi makan pun engkau pasti tak akan mampu…”

Ibu : “Apa katamu Malin? Aku ini ibumu…”

Malin Kundang : “ibu..ibu..ibu.. berapa banyak lagi orang yang akan mengaku keluarga atau saudaraku, demi bisa ikut menikmati atau justru merampas hartaku..”

Ibu : “Astaghfirrullaah Malin, teganya engkau berkata seperti itu pada ibumu? Harta benda ternyata telah membutakan mata hatimu Malin. Bekas luka di le-nganmu itu tak bisa ibu lupakan, Malin”

Malin Kundang : “Dan, harta benda juga telah membutakan mata hatimu, wanita tua, sehingga, kamu tega mengaku-aku sebagai ibuku, biar bisa kusanjung, kumanja-manjakan dan kubahagiakan dengan hartaku.. Sudahlah, jangan berkhayal wa-nita tua…Aku tidak punya ibu seperti kamu..”

Malin Kundang: “Sudahlah, pergilah kau.. jangan lagi dekati aku, karena aku tak ingin bajuku yang mahal ini kotor tersentuh badanmu, orang miskin…”

[Mendengar ucapan Malin itu, sang ibu pun seakan tidak percaya dan langsung menangis. Bukan menangis karena tidak diakui sebagai ibu, tapi menangis karena khawatir anaknya tidak akan dimaafkan Allah atas perbuatannya]

[Melihat ibu Malin menangis, warga yang sedari tadi diam pun akhirnya tak bisa menahan diri dan mulai angkat bicara]

Warga I : “Hei Malin, teganya engkau berbuat seperti itu pada ibumu sendiri.. Ibu yang melahirkan dan merawat kamu sejak kecil, dengan susah payah..”

Warga II : “Ya, selama bertahun-tahun, ia harus bekerja keras mencari kayu dari pagi hingga larut malam, hanya agar kau tidak kelaparan, Malin..”

Warga III : “Ya, kami berani bersaksi dengan cara apa-pun, agar kau mau mengakui bahwa ibu ini memang ibumu… Demi Allah, Malin.. Ia ibumu..”

Malin Kundang : “He.. kalian dijanjikan apa oleh wanita tua ini, sehingga mati-matian membelanya.. sampai-sampai membawa nama Allah segala..”

Warga I : “Teganya engkau berkata seperti itu pada ibumu, Malin..Sungguh Allah akan melaknat anak yang durhaka kepada orangtuanya”..

Warga II : “Jangankan menghardik, berkata cis atau ah kepada orangtua saja, sudah merupakan dosa yang sangat besar bagi seorang anak..”

Warga III : “Ya, Malin, Rasulullah SAW pernah bersabda : Sebesar-besar (daripada) dosa besar adalah menyekutukan Allah, membunuh manusia, durhaka kepada ibu bapak dan menjadi saksi palsu.”

Warga II : “Balasannya pun tak hanya di akhirat, namun juga akan ditimpakan saat engkau masih berada di dunia, seperti kata hadist : Dan, Dua (kejahatan) yang akan langsung dibalas oleh Allah di dunia ini adalah zina dan durhaka kepada dua ibu bapa.”

Warga I : ”Malin, tidak ingatkah kau, bagaimana ibumu ini menyayangimu saat engkau masih kecil, sampai ia pun mengabaikan kesehatannya sendiri.. demi kau..”

Warga II : “Tanpa ada orangtua, bagaimana engkau ada di dunia ini, Malin?”

Malin Kundang : “Ah… memang pandai kalian berkilah untuk membelanya.. Sudahlah, aku tidak ada urusan dengan kalian semua..”

[Istri Malin Kundang yang sedari tadi diam pun akhirnya tak tahan melihat kelakuan suaminya]

Istri Malin : “Apa yang kau lakukan, suamiku.. Akuilah jika memang benar ia ibumu.. Aku tidak malu kok.. jika dirimu memang berasal dari keluarga miskin, tidak seperti yang selama ini kau ceritakan padaku.”

Istri Malin : “Suamiku, bukan harta benda yang menjadi ukuran cintaku padamu, namun, seberapa besar sikap dan perhatianmu padaku..”

[Malin hanya terdiam mendengar ucapan istrinya]

Istri Malin : “Aku juga seorang wanita, yang suatu saat juga bakal menjadi ibu.. karenanya, aku bisa merasakan betapa sakitnya hati ibumu ini saat eng-kau, sebagai anaknya, memperlakukannya seperti itu…”

Malin Kundang : “Tapi, ia hanya berpura-pura saja istriku.. ia hanya ingin merebut harta kita..”

Istri Malin : “Harta..harta.. harta.. selalu saja itu yang engkau tuhankan suamiku.. ingatlah suamiku, harta benda dan kekayaan itu hanyalah cobaan Allah pada hamba-Nya. Ingatkah kau pada Fir’aun dan Qorun Laknatullah?.. mereka dilapangkan hartanya, justru untuk dihinakan sepanjang masa.. maukah kau menjadi seperti itu, suamiku?”..

[Malin Kundang yang sudah buta oleh harta benda pun tak mempedulikan omongan semua orang, termasuk istrinya]

[Tanpa menghiraukan semuanya, Ia pun meninggalkan ibunya dan kerumunan warga menuju kapalnya]

[Namun, beberapa langkah ia berjalan, sang ibu pun berteriak]

Ibu : “Malin, dengarlah… Harta telah membuat hatimu SEKERAS BATU.. Tak ada sesuatu yang bisa me-luluhkannya, kecuali atas kehendak Allah… Ya Allah, maafkanlah perbuatannya dan bukalah pintu hatinya..”

[Mendengar teriakan itu, Malin tetap tak bergeming dan hanya menoleh, untuk selanjutnya melanjutkan langkahnya menuju kapal mewahnya]

[Sejenak kemudian, kapal mewah itu pun berlalu dari dermaga, dengan meninggalkan luka mendalam di hati sang ibu]

Adegan V
[Setelah meninggalkan dermaga, kapal Malin Kundang pun kembali berlayar di lautan lepas]

[Namun, di tengah perjalanan, datang badai dahsyat dan menghancurkan kapal Malin Kundang]

[Seluruh awak kapal terhempas ke lautan dan tewas]

[Tak terkecuali Malin Kundang. Ia pun terhempas ke lautan dan terapung-apung. Namun, berbeda dengan awak kapal lain yang langsung tewas. Malin Kundang tidak tewas seketika. Di tengah upayanya menyelamatkan diri dengan mencoba berenang ke pantai, tubuh Malin Kun-dang perlahan-lahan menjadi kaku hingga lama kela-maan berbentuk menjadi BATU karang –seperti ucapan sang ibu yang terakhir kali didengar Malin Kundang di dermaga]

[Sampai saat ini, batu yang dipercaya sebagai Malin Kundang ini masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Air Manis, di selatan kota Padang, Sumatera Barat]


diceritakan kembali oleh :
WIWIK SUSILO
untuk keperluan pementasan santri/wati TPA Asy-Syifa Sidorejo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar