Jumat, 20 April 2012

Naskah Petikan Surat Kartini

Kepada Tuan EC Abendanon, Tanggal 17 Agustus 1902
Dari buku : Habis Gelap Terbitlah Terang
Pembaca; Santriwati (Rosi, Hani), Ustadzah (Fitri, Whinda), Buruh Gendong (Ibu) *)


Rosi : Wahai! Sangat gembira hati orang-orang tua, karena kami yang tersesat, telah balik kepada jalan yang benar. Sangatlah mengharukan hati kami.

Hani : Seorang tua di sini karena girangnya, menyerahkan kepada kami, semua kitab-kitabnya. Naskah bahasa Jawa, banyak pula yang ditulis dengan huruf Arab. Kami pelajarilah kembali, membaca dan menulisnya.
.
Fitri :  Sekarang tahulah kami. Airmata kami yang titik sekarang ini, perlunya semata-mata, supaya bertunas bibit itu. Supaya dari padanya, berkembanglah nafsu hidup yang baru dan murni di kemudian hari.

Whinda : Tetapi sekarang ini, kami tiada mencari penglipur hati pada manusia, kami berpegangan teguh-teguh pada tangan-Nya. Maka, hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.

Ibu : Kami tiada takut benar, kami tiada takut di mana juga kami, di sana adalah….  yang menjaga kami, yang menilik kami,  yang mempertimbangkan barang sesuatu tentang kami dengan kasih-Nya.

Rosi : Apa peduli kami dengan manusia, karena kami tahu, kami dilindungi Tuhan?

Hani : Pekerjaan-Nya-lah yang kami kerjakan. Dia akan mengurniakan kami, tenaga untuk melakukan itu.

Fitri : Kami bersedia, bersedia berbuat apapun jua, bersedia memberikan diri kami sendiri--- bersedia menerima luka hati. Air mata darah akan mengalir banyak-banyak, tetapi tiadalah mengapa. Semuanya itu akan membawa ke arah kemenangan. Manakah akan terang, bila tiada didahului gelap gulita. Hari fajar lahir daripada hari malam.

Whinda : Karena kami sekarang ini telah mendapat Dia. Serasa-rasa hidup kami menjadi lebih bagus, tujuan hidup kami lebih indah, jelita, tinggi… Semangat kudus itu memberi berkat kepada barang apa juapun!

Ibu : Tahukah kami bahwa engkau sekali-kali tiada dapat dan tiada akan membiarkan kaum buruh yang sebawahanmu dipukuli. Kami setuju benar dengan perasaanmu dan pendapatanmu tentang hal ini.  Aku sendiri tiada dapat melihat orang yang dipukul. Sakitnya hati, sangatlah sakitnya hati, melihat tampak sifat binatang itu di dalam diri manusia, tiada terbelenggu, liar. Sangat pilunya hatiku melihat manusia itu menjadi binatang.

Fitri : Tiada sanggup kami memaklumi, betapa mungkin ada laki-laki, bahkan perempuan, suka melihat dihukum pukul. Rendahlah orang yang demikian itu, tiada perasaan, pada pemandangan kami.

Whinda : Aku jijik melihat hukuman siksa badan. Bukanlah karena merasa ngeri itu. Melainkan oleh karena rasa hina yang ada tersimpul bagi orang yang dihukum maupun bagi orang yang menghukum. Hukuman yang demikian itu menjadikan hati mendendam, dan tiadalah menjadi hukuman yang memperbaiki; demikianlah keyakinan kami.

Rosi : Seorang kenalan kami mengerti akan hal itu. Lalu katanya, “kami wajib berbuat demikian. Bila tiada demikian, bagaimana kami, yang hanya berpuluhan ini saja dapat menjaga keamanan dan kesentosaan, karena mereka beribu-ribu banyaknya itu?” Mereka ini tentulah sudah dahulu-dahulu mengusir kami dari tanah ini, membuang kami ke dalam laut, bila tidak ada rasa takut itu kepada kami.

Hani : Patih karena takut! Bilakah datang masanya, firman Allah, yang disebut cinta itu, meresap ke dalam hati manusia yang berjuta-juta itu?


****


*) Dibacakan pada acara Kartini-an A-BG tanggal 19 April 2012 di Musholla Asy-Syifa Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar